Candi Sukuh: Jejak Sejarah dan Rahasia Spiritual Hindu di Lereng Gunung Lawu

Penulis utama

Dr. Drs. Marsono, M.Pd.H.

Deskripsi

Di lereng barat Gunung Lawu, pada ketinggian 1.186 meter di atas permukaan laut, berdiri Candi Sukuh, sebuah monumen Hindu yang menyimpan kekayaan sejarah dan spiritualitas yang mendalam. Terletak di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, candi ini adalah saksi bisu masa senja Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Berbeda dengan candi-candi Hindu megah seperti Prambanan atau Borobudur, Candi Sukuh menawarkan pendekatan yang lebih sederhana namun esoterik, dengan arsitektur punden berundak dan relief-relief yang sarat dengan ajaran Tantrik Siwaisme. Keberadaannya di tengah lanskap pegunungan yang hijau menambah aura misterius, seolah candi ini menyimpan rahasia spiritual yang menanti untuk diungkap.

Candi Sukuh pertama kali dilaporkan pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta di bawah pemerintahan kolonial Inggris, yang terpesona oleh struktur unik candi ini di tengah hutan Gunung Lawu. Penelitian lebih lanjut oleh arkeolog Belanda, seperti Van der Vlis, Hoepermans, dan Verbeek, mengungkap bahwa candi ini bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga pusat spiritual yang mencerminkan perpaduan antara ajaran Hindu dan tradisi lokal Jawa. Prasasti berbahasa Kawi bertarikh 1361 Saka (1439 M) dan sengkalan memet pada gapura candi memberikan petunjuk tentang waktu pembangunannya, menempatkannya dalam konteks historis yang kaya akan perubahan sosial dan agama. Pada masa itu, Kerajaan Majapahit menghadapi kemunduran akibat konflik internal dan munculnya kekuatan Islam di Jawa, menjadikan Candi Sukuh sebagai salah satu monumen terakhir dari tradisi Hindu Jawa.

Keunikan Candi Sukuh terletak pada arsitekturnya yang menyerupai punden berundak megalitik, sebuah bentuk yang jarang ditemukan pada candi Hindu lainnya di Jawa Tengah. Struktur tiga terasnya, gapura berbentuk trapesium, dan simbolisme lingga-yoni menunjukkan pengaruh kuat ajaran Tantrik Siwaisme, yang menekankan keseimbangan kosmik antara purusa (energi maskulin) dan prakerti (energi feminin). Relief-relief candi, seperti Garudeya, Sudhamala, dan Bima Suci, bukan hanya karya seni, tetapi juga narasi spiritual yang menggambarkan konsep ruwatan—pembebasan dari belenggu duniawi—dan perjalanan jiwa menuju moksa, sebuah inti dari filsafat Hindu-Tantra. Elemen-elemen ini menegaskan bahwa Candi Sukuh adalah pusat pembelajaran spiritual, tempat para Rsi dan masyarakat agraris berkumpul untuk melakukan ritual kesuburan dan pemujaan.

Letak geografis Candi Sukuh di lereng Gunung Lawu, yang dianggap suci dalam tradisi Hindu dan Jawa, memperkuat perannya sebagai situs spiritual. Gunung Lawu dalam mitologi Jawa dianggap sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan leluhur, sehingga candi ini tidak hanya berfungsi sebagai kuil, tetapi juga sebagai jembatan antara dunia manusia dan alam ilahi. Pengaruh tradisi pra-Hindu, seperti pemujaan leluhur, terlihat dalam desain punden berundak yang mengingatkan pada struktur megalitik, menunjukkan sinkretisme antara Hindu dan budaya lokal. Sinkretisme ini mencerminkan kemampuan masyarakat Jawa untuk mengadaptasi ajaran Hindu dari India ke dalam konteks budaya mereka, menciptakan identitas spiritual yang dikenal sebagai Hindu Jawa atau Kejawen Hindu.

Di era modern, Candi Sukuh menghadapi tantangan pelestarian, mulai dari kerusakan akibat cuaca hingga kurangnya kesadaran akan nilai spiritualnya. Namun, candi ini tetap menjadi magnet bagi para peneliti, umat Hindu, dan wisatawan yang ingin memahami warisan budaya Jawa. Kehadiran candi ini tidak hanya mengingatkan kita pada kejayaan masa lalu, tetapi juga mengajak kita untuk merenungkan makna spiritual yang masih relevan hingga kini. Buku ini lahir dari keinginan untuk menggali lebih dalam kekayaan sejarah dan spiritual Candi Sukuh, mengajak pembaca untuk melihat candi ini sebagai lebih dari sekadar monumen batu, tetapi sebagai cerminan kearifan Hindu Jawa yang abadi.

Infoteks.org © 2025 All Rights Reserved.